Topik3: PERGURUAN TINGGI SEBAGAI TEMPAT PESEMAIAN CALON PEMIKIR dan ILMUWAN

FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-3
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)

A. SUB POKOK BAHASAN: MAHASISWA SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUWAN
B. SUB POKOK BAHASAN: PERGURUAN TINGGI SEBAGAI TEMPAT PESEMAIAN CALON PEMIKIR DAN ILMUAN

C. Standar Kompetensi : Mahasiswa memahami hakikat dirinya selaku pemikir dan ilmuwan professional

D. Kompetensi Dasar :

  • menjelaskan kedudukan dan fungsi Perguruan Tinggi;
  • menunjukkan beberapa contoh aktivitas mahasiswa di perguruan tinggi sebagai ilmuwan;
  • menjelaskan kedudukan dan fungsi filsafat ilmu di perguruan tinggi;
  • menunjukkan salah satu manfaat filsafat ilmu dalam membangun kekuatan logika keilmuan.

1. Hakikat dan Fungsi Perguruan Tinggi.

Perguruan tinggi adalah tempat pesemaian bibit-bibit pemikir, intelektual, dan profesional dengan berbagai macam jenis dan arus pemikiran keilmuan yang terus berubah dan berkembang. Fungsi utama Perguruan Tinggi adalah membentuk kompetensi para mahasiswa sebagai calon pemikir, ilmuwan, dan profesional yang mampu menampilkan pemikirannya secara akademis (filosofis–logis). Mahasiswa, dengan sarana berpikir filosofis-logis, akan dibimbing agar mampu menggarap dan mengembangkan alam pemikirannya sedemikian rupa, sesuai bidang akademisnya, menjadi pengetahuan, dan melalui pengetahuan akan terbentuk ilmu–ilmu, yang kemudian akan terus berkembang. Pikiran-pikiran keilmuan yang dikembangkan di perguruan tinggi itulah yang kemudian menghasilkan pikiran-pikiran teknologi yang akan melahirkan teknologi sebagai sebuah kekuatan yang menentukan dalam kehidupan manusia modern. Pikiran-pikiran teknologis itu kemudian berkembang menjadi pikiran-pikiran industrial yang mampu manciptakan berbagai pemikiran sistemik (input, out put, dan out come) yang sinergis dalam membangun sebuah kehidupan masyarakat modern itu sendiri. Akhirnya, pikiran itu sendirilah yang telah mendorong lahirnya berbagai pemikiran kritis dalam rangka tugas menyiasati, baik ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri yang cendrung mengorbankan manuisia dan kemanusiaan itu sendiri.

Berpikir secara filosofis-logis, artinya, berpikir secara kritis, rasional, obyektif, dan normatif karena harus menaati prinsip-prinsip berpikir yang sehat dan lurus, bukan berdasarkan kemauan atau dorongan emosi belakah. Studi Filsafat ilmu, dalam sebuah kedudukan kurikuler di Perguruan Tinggi, bermaksud mengorientasikan sebuah pola pemikiran yang bersifat kritis, radikal, sistimatis, logis, holistik, komprehensif-integratif, dan eksistensialistik. Ciri berpikir tersebut merupakan fondasi filosofis yang kokoh dalam menyanggah serta memekarkan setiap setiap arus pemikiran yang menjadi lahan pengembangan diri para intelektual muda. Hal mana, begitu penting dan strategis bagi para mahasiswa dalam membangun kompetensi dirinya selaku pemikir, ilmuwan, calon profesional yang mampu memahami dan mengerjakan pikirannya secara tepat, sehat, dan benar dalam bidang keilmuan yang ditekuninya.

Prinsipnya, perguruan tinggi harus mampu membimbing mahasiswa untuk dapat membangun pikiran-pikiran keilmuannya secara filosofis untuk makin menemukan eksistensi “ilmuan pemikir”, bukan sekedar ilmuan “foto kopi”.

Diskursus keilmuan di PT

Gambar No 3. Diskursus keilmuan di Perguruan Tinggi.

Gambar ini menunjukkan sebuah realitas dunia kemahasiswaan di Perguruan Tinggi di mana mahasiswa dibimbing untuk melakukan komunikas keilmuan, baik secara internal keilmuan maupun lintas keilmuan. Mereka dibimbing untuk melakukan eksplorasi pemikiran, menggagasnya, dan mengkomunikasikan atau mendebatkan pikiran-pikirannya secara terbuka. Mereka belajar untuk saling mengkritik dan saling mempertajam ide-ide dengan berbagai ruang pemaknaan. Mereka secara bebas dan terbuak melaukan transaksi dan negosiasi pemikiran untuk memecahkan topik pembelajaran atau permasalahan aktual yang terjadi dalam lingkungan alam maupun dalam lingkungan sosialnya. Melalui itu, mereka mampu menyuguhkan kebenaran-kebenaran serta validitas dan keabsahan pemikiran yang diterima secara luas dan berlaku universal. Pendeknya, tidak ada sebuah kejeniusan pemikiran keilmuan apa pun yang bersifat ilmu atau keilmiahan tanpa sebuah norma pembimbingan maupun pertanggungjawaban filosofis-logis yang memadai.

Pengalaman menunjukkan bahwa masih ada mahasiswa dan out put perguruan tinggi yang belum dapat mengerjakan pikirannya secara tepat dan benar, karena belum terlatih secara matang dalam membangun dan menguji pikiran-pikirannya secara kritis, terbuka, dan terstruktur. Mereka, karenanya, cenderung menghafal, memfotokopi, dan mengikuti secara buta berbagai warisan pemikiran serta berbagai rumusan formal dari norma apa pun tanpa sebuah pertimbangan kritis. Bahkan, banyak yang hanya mengikuti kuliah Filsafat ilmu secara formalistik untuk mengejar target pencapaian sistem kredit semester (SKS) yang harus ditempuh, tanpa berusaha membangun sebuah kompetensi pemikiran yang memadai dengan melakukan transfer of knowledge secara efektif dan sistimatis.

2. Tujuan Filsafat Ilmu di Perguruan Tinggi.

Studi filsafat ilmu di Perguruan tinggi bertujuan agar mahasiswa dibimbing untuk memahami, betapa luas dan dalamnya hakikat serta tanggungjawab pikiran dan pengetahuan manusia. Perguruan tinggi, secara filosofis, berfungsi dalam rangka pencerdasan budi atau intelektual dan budaya masyarakat. Perguruan tinggi, karena itu, berusaha menumbuhkan kesadaran dalam diri mahasiswa dan masyarakat bahwa pikiran, pengetahuan, dan ilmu adalah salah satu fenomena eksistensi manusi yang tidak dapat dipisahkan dari nilai dan panggilan tugas kemanusiaan yang diembannya.

Bagi Filsafat ilmu, nilai dan panggilan tugas kemanusiaan telah begitu lekat (inheren), baik di dalam pikiran atau pengetahuan, termasuk dalamnya, bidang ilmu dan teknologi sedang yang ditekuni oleh para mahasiswa sesuai bidang minat dan profesinya di perguruan tinggi. Usaha tersebut, bertumpuh pada manusia sebagai subyek, sehingga mampu mendongkrak segala keterbatasan kodratinya, dan menyumbang bagi kepenuhan diri sebagai makhluk budaya yang bisa mengusai alam yang mendeterminasi dirinya.

Mengingat mata kuliah Filsafat ilmu ini disajikan pada semester – semester awal maka diharapkan, baik secara substantif maupun metodis, perkuliahan dimaksud dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan dan ketrampilan berpikir yang baik bagi mahasiswa untuk sejak dini dapat terlatih membangun pendekatan filosofis-logis itu di dalam membangun kompetensi keilmuannya. Sasarannya pada upaya memperkenalkan prinsip-prinsip dasar studi filsafat yang membimbing mahasiswa untuk membongkar dan menggali berbagai realitas kekayaan tentang dunia kemanusiaannya yang penuh daya misteri, serta membentuk dasar-dasar pemahaman filosofis yang berhubungan teknik atau seni dalam membangun atau mengerjakan pikiran dalam membangun tugas keilmuan.

Tegasnya, filsafat ilmu hendak menunjukkan bahwa filsafat adalah ilmu berpikir atau seni mengolah pikir untuk menghasilkan karya-karya keilmuan dan karya budaya yang berguna. Melalui itu, mahasiswa dibimbing untuk memahami bagimana pikiran sebagai daya intelektual manusia telah menjadi kekuatan peradaban dan budaya yang telah menghasilkan kemajuan-kemajuan besar dalam hidup dan menjadikannya sebagai master budaya.

Melalui studi Filsafat ilmu, mahasiswa dibimbing untuk membangun kemampuan filosofisnya dalam mengolah pikir guna mengkritisi berbagai pemikiran keilmuan yang digeluti serta makin terbimbing untuk menghasilkan karya-karya keilmuan dan karya budaya yang berguna, sesuai bidang keahliannya. Inti pembangunan ilmu bettumpuh pada tiga dimensi keilmuan, yaitu:

pertama; dimensi kritis, dengan tujuan untuk membangun otonomi diri serta kemampuan nalar dalam menilai dan mempertanyakan berbagai kemungkinan (klaim-klaim kebenaran bersifat keilmiahan, ideologis, yuridis, maupun religius) dalam rangka pengembangan dan penegasan eksistensi (pilihan hidup);

kedua; dimensi kreatif, dengan tujuan untuk mengolah budi (kecerdasan), mampu melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual;

ketiga; dimensi kontemplatif untuk menajamkan kepekaan, mampu mengenal kekuatan dan kelemahan, serta menasihati dan membimbing diri (menangani diri) sehingga memiliki sebuah jangkar keberadaan dan fondasi eksistensi yang kokoh sebagai pribadi (personal), maupun sebagai bangsa dan masyarakat (daerah) yang beradab dan bermartabat.

3. Pikiran membangun kekuatan logika dalam keilmuan.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa sebetulnya, masing-masing ilmu memiliki “logika”-nya sendiri, dan itulah yang disebut prinsip dasar dan metode berpikirnya. Metode itu ditemukan dan dikembangkan bersama dengan mengadakan refleksi atas obyeknya untuk mencapai pemikiran-pemikiran baru yang lebih jelas. Bahwa, lajunya perkembangan pikiran atau ilmu dan pengetahuan manusia dewasa ini, terutama yang berhubungan dengan informasi ilmiah, telah begitu maju pesat. Kegandrungan yang begitu luas–mendalam terhadap ilmu telah membawa berbagai macam perubahan tata nilai dalam kehidupan manusia.

Meskipun demikian, kegandrungan terhadap ilmu telah membawa pula berbagai konsekuensi logisnya yang semulanya, tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan oleh ilmu itu sendiri, dimana kejahatan pun makin diilmukan dengan logika-logika keilmuan yang bersifat irasional. Pengilmiahan atau “pengilmuan kejahatan” dimaksud untuk mendapatkan justifikasi logis, yang hampir tak terbantahkan secara keilmuan, atas berbagai kecenderungan bias (penjahat berdasi) yang makin mendeterminasi alam pemikiran dan kehidupan secara luas.

“Pengilmuan kejahatan” dibangun dengan logika-logikanya yang di-”rasionalisasi”-kan” sedemikian rupa (bukan berdasarkan kebenaran rasional tetapi pembenaran secara irasional) untuk menjadi alat pembohongan atau alat merekayasa kepalsuan dan kebohongan menjadi kebenaran dan kesalehan untuk mencapai tingkat keabsahan, baik pada tataran formal (misalnya, pada lembaga-lembaga yang berkompeten baik secara politis maupun yuridis), maupun secara sosial dalam kehidupan aktual masyarakat. Bahkan, para ”tukang” maupun “majikan” logika-logika irasional dimaksud, seakan, telah mampu memutarbalikkan kejahatan menjadi kesalehan dalam sebuah kekuasaan yang irasional (The Logic of Power).

Kini The Logic of Power, telah berkembang luas, dalam kehidupan masyarakat aktual kita. Bahkan, ia seakan, telah menjadi semacam kekuatan intelektual baru (the new intelectual forces) sehingga mampu meyakinkan pikiran dan pandangan banyak umat manusia dengan berbagai implikasi yang sungguh memprihatinkan dan mencemaskan. Hukum dasar logika irasional dimaksud adalah melakukan affirmasi atau pembenaran-pembenaran logis atas nafsu kekuasaan dan kejahatan manusia, dengan cara menegasi atau menyingkirkan prinsi-prinsip kebenaran logis (The Power of Logic) dalam usaha membangun dan mempertahankan kebenaran-kebenaran logis atas dasar pemikiran yang sehat dan rasional. Ciri utama The Logic of Power adalah logika penindasan, pembodohan, dan penguasaan, bukan logika pembebasan dan pendewasaan hidup. Manusia, akhirnya, makin terbelenggu menjadi “tidak akil balik” (tidak matang atau dewasa) di dalam banyak “sangkar emas” yang dibuatnya sendiri. The Logic of Power, karenanya, harus makin diatasi dengan The Power of Logic untuk memulihkan alam pemikiran dan pengetahuan manusia, serta menunjukkan adanya harapan-harapan baru dalam membangun alam pemikiran dan keilmuan sebagai kekuatan peradaban yang khas manusiawi. Perkembangan kesadaran itulah yang makin menantang orang, terutama para ilmuawan untuk selalu melakukan percermatan ulang serta pengkajian-pengkajian kritis, dan analisis sedalam-dalamnya atas berbagai pemikiran keilmuan serta berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih brilian dengan norma berpikir yang benar.

Posisi mahasiswa sebagai kaum pemikir, karenanya, menjadi sangat relevan dalam membangun dan memperluas arus kesadaran dimaksud. Melalui itu, berbagai kekeliruan, konflik, dan kesesatan hidup akibat derasnya The Logic of Power dalam masyarakat, makin teratasi dengan sebuah kekuatan pencerahan baru.

E. Sumber:

The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. 2001, Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan).

F. Evaluasi:

  • jelaskan kedudukan dan fungsi Perguruan Tinggi;
  • Tunjukkan beberapa contoh aktivitas mahasiswa di perguruan tinggi sebagai ilmuwan;
  • jelaskan kedudukan dan fungsi filsafat ilmu di perguruan tinggi;
  • berikan salah satu manfaat filsafat ilmu dalam membangun kekuatan logika keilmuan.

Terakhir diperbaharui: Monday, 30 March 2020, 11:42