Topik6: PENDASARAN FILSAFAT BAGI TUGAS KEILMUAN

FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-6
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)

A. POKOK BAHASAN : PENDASARAN FILSAFAT BAGI TUGAS KEILMUAN
B. SUB POKOK BAHASAN: OBYEK dan LANDASAN FILSAFAT BAGI KEILMUAN

C. Standa Kompetensi :
Mahasiswa memahami pentingnya pendasaran filsafat bagi tugas keilmuan.

D. Kompetensi Dasar :

  • menjelaskan pengertian obyek material filsafat bagi keilmuan;
  • menjelaskan pengertian obyek formal filsafat dalam mengerjakan ilmu;
  • menunjukkan perbedaan obyek material dan obyek formal keilmuan;
  • menjelaskan pengertian landasan-landasan filosofis keilmuan;
  • membedakan kedudukan masing-masing landasan filosofis keilmuan dalam tugas keilmuan.


I. Obyek Pemikiran filsafat Bagi Keilmuan

Filsafat memiliki dua obyek pemikiran, yaitu obyek materian dan obyek formal.

  1. Obyek material, yaitu materi atau bahan yang menjadi obyek penyelidikan filsafat, maupun bagi segala turunan filsafat itu sendiri, misalnya, pengetahuan atau ilmu. Jadi, dengan kata sifat “material” tidak dimaksudkan sebagai bahan-bahan materi bagi sebuah pekerjaan tukang, tetapi “pokok soal” atau “pangkal pikir” yang merupakan bahan atau obyek pemikiran filsafat itu sendiri. Materi atau obyek studi filsafat itu meliputi segala sesuatu realitas (manusia), baik berupa kenyataan fisik (inderawi), benda dan aktifitas alam, intelektual (intelektif), pengalaman, tradisi, adat, budaya, bahasa, pikiran, pengetahuan harian, maupun ide, gagasan, atau teori, kegiatan-kegiatan manusia, norma-norma hidup, hukum, ideologi, politik, sistem kepercayaan, aspek kejiwaan, baik yang ada maupun yang bisa diadakan oleh pikiran manusia itu sediri. Tegasnya, obyek atau material yang menjadi bahan pemikiran filsafat adalah tertuju pada segala hal, sejauh bisa dijangkau oleh indera maupun pikiran manusia. The Liang Gie (1996: 341), antara lain, menunjukkan adanya 6 (enam) jenis obyek material, yaitu; ide abstrak, benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, peristiwa sosial, dan proses tanda.

Filsafat, dalam hal ini, menjadikan manusia sebagai obyek dan fokus pemikirannya yang memekarkan. Manusia adalah obyek tetapi sekaligus subyek bagi pemikirannya. Filsafat selalu bertanya dan merenung tentang manusia, apakah manusia dan bagaimana “ada” maupun “cara beradanya”. Filsafat selalu berusaha menjelajahi hakikat manusia, asal usulnya, fenomena kesenangan, suka-cita, dan aneka penderitaannya, serta bagaimana hidup manusia setelah mati.

Bagi filsafat, manusia bukan sekedar sebuah fakta atau realitas bendawi yang jelas pada dirinya, tetapi manusia itu sekaligus adalah masalah, sekurang-kurangnya, bagi dirinya sendiri. Manusia bukan hanya menemukan dirinya sebagai “apa adanya”. Justru, setiap saat, manusia menghadapi dirinya sebagai sebuah “tanda tanya” atau persoalan aktual “mengapa”, dan “bagaimana adanya”. Manusia adalah sebuah dinamika personal dan daya misteri bagi dirinya sendiri. Manusia, bagi dirinya, adalah dekat tetapi sekaligus jauh, jelas dimengerti tetapi sekaligus sukar dan kabur untuk diselami atau didalami aneka keluasannya. Manusia, karena itu, mengahadapi dirinya sebagai sebuah tugas kemanusiaan, yang bukan hanya diselesaikan dengan pendekatan fisik material (fisik, jasmani), atau sosio-religi saja, juga bukan sekedar pendekatan psikologi atau ekonomi semata. Sebagai persona dinamis, persoalan kemanusiaan itu tidak hanya harus dihadapi dan disiasasti secara personal-individual semata terlepas dari aspek sosial kemasyarakatannya. Persoalan kemanusiaan tersebut tidak mungkin hanya diselesaikan secara logika matematis semata (misalnya; 1+ 1 = 2), tetapi juga dengan pendekatan logika kebatinan, logika cinta, kasih sayang, pengorbanan, dan saling pengertian (misalnya; 1+1 = 1). Pendekatan-pendekatan yang bersifat partikular-primordial tersebut, justru akan saling menafikkan dan merelatifkan, dan tidak membawa hasil positif apa pun bagi sebuah tugas kemanusiaan. Jelasnya, manusia adalah sebuah medan atau sebuah “dunia’ yang luas dan penuh rahasia. Dunia manusia itu harus didekati secara utuh dan terpadu, bukan secara primordial-partikular.

Manusia, karena menghadapi dirinya sebagai masalah, bukan sekedar sebagai fakta atau benda apa adanya, yang selesai pada dirinya maka manusia itu dipaksa untuk harus dapat memecahkan masalah-masalah kemanusiaannya dimaksud secara arif dan bijaksana. Caranya, manusia harus dilatih untuk berpikir keras, manusia harus membangun atau mengembangkan pengetahuannya secara terus menerus, dan berbudaya. Melalui itu, manusia akan terus belajar memecahkan atau mengatasi permasalahan-permasalahan kemanusiaannya itu secara utuh dan paripurna. Justru itulah, manusia harus belajar hukum, psikhologi, matematika, biologi, sosiologi, antropologi, kosmologi, Ilmu pemerintahan, politik, agama, ekonomi, ilmu mendidik, pertanian, kehutanan, kelautan, agama, dan sebagainya. Manusia harus mendirikan lembaga-lembaga hukum, lembaga ekonomi atau perbankan, lembaga agama, lembaga pendidikan, lembaga sosial kemasyarakatan, menciptakan teknologi, bahasa, komunikasi, dan bahkan, belajar seumur hidup untuk mengatasi masalah kemanusiaan dan tugas kemanusiaannya itu sendiri. Segala realitas itulah yang dalam filsafat, disebut sebagai ada atau bahan (obyek material) bagi pemikiran filsafat.

Segala hal yang ada dan merupakan obyek material filsafat itu diklasifikasikan atas dua golongan sebagai berikut:

  1. ada yang harus ada, yang disebut ada absolut (mutlak), yaitu Tuhan pencipta alam semesta. Diketahui bahwa Sang Tuhan itu adalah “Sang ada” yang harus ada karena Tuhan adalah sesuatu yang tidak diadakan oleh yang lain. Sang Tuhan adalah “Ada mutlak” (absolut).
     
  2. ada yang tidak harus ada. Ada yang demikian disebut ada yang relatif (nisbi). Ada ini bersifat tidak kekal, yaitu ada yang diciptakan oleh ada mutlak (Tuhan pencipta semesta). Ada yang relatif ini lah yang berhubungan dengan manusia dengan segala realitasnya sebagaimana ditunjukkan di atas, dan merupakan bahan atau materi bagi pemikiran filsafat, pengetahuan, dan ilmu itu sendiri.

Pandangan filosofis mengenai obyek material filsafat dimaksud, hendak menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada bagi dunia (eksistensi) manusia, terbuka menjadi bahan, masalah, atau obyek bagi filsafat. Hakikat ada sebagai obyek filsafat, bersifat utuh atau menyeluruh (universal). Maksudnya, ada dalam arti seluruh alam semesta, jadi bukanlah ada yang bersifat khusus (partikular). Konsekuensinya, aspirasi kefilsafatan tentang obyek material bagi pemikiran filsafat ialah mengutuhkan (mengunifikaskan) semua obyek dalam satu keutuhan yang majemuk bukan keterpilahan. Misalnya, manusia sebagai obyek dan subyek hukum harus dapat dilihat di dalam keutuhannya, bukan dalam realitas yang terpilah-pilah. Manusia sebagai obyek material filsafat atau pengetahuan, dan ilmu, memiliki ciri dan sifat yang khas, karena manusia itulah yang menghadapi dirinya sendiri, baik dalam filsafat, pengetahuan, atau ilmu.

Manusia, dalam hal ini, menghadapi dirinya seolah-olah sebagai makhluk yang belum selesai pada dirinya sendiri seperti batu, meja, atau kursi. Manusia, kerananya, selalu mengahadapi dirinya bukan sebagai fakta tetapi sebagai masalah. Manusia dalam hal ini, seolah-olah menghadapi dirinya begitu dekat tetapi sekaligus jauh, jelas tetapi sekaligus samar dan kabur, senang tetapi sekaligus cemas, dan sebaginya. Ia adalah makhluk multi dimensi yang bersifat mono dualis (makluk dua dimensi), tetapi juga bersifat mono-pluralis (makhluk berdimensi majemuk). Jadi, manusia adalah sebuah obyek material baik bagi filsafat, pengetahuan, maupun ilmu, yang tidak pernah selesai. Justru itu, ilmu-ilmu harus menghampiri manusia dengan renda hati dan penuh kesabaran, bukan dengan keangkuhan dan egoisme sempit. Ilmu mata tidak akan menyelesaikan manusia hanya dengan mata, demikian juga jantung, kulit, dan sebagainya. Justru, diperlukan adalah bagaimana membangun suasana saling kerja sama.

Jelaslah, filsafat melihat segala sesuatu dalam konteks keseluruhan. Seluruh realitas pandangannya sebagai ada selalu ditempatkan pada prinsip dasar keutuhan konteks sang ada (eksistensi) yang merupakan syarat mutlak bagi sebuah cara berada.

  1. Obyek Formal, adalah sudut pandang filsafat atau metode dan cara kerja yang digunakan dalam rangka mengbongkar, menyingkap, dan mengolah setiap bahan atau materi pemikiran (obyek material), guna dapat mengembangkannya menjadi pengetahuan yang teruji dan tertata secara sistematis dalam bentuk pengetahuan umum maupun pengetahuan ilmiah atau jenis-jenis ilmu yang bersifat spesifik namun saling terkait. Jadi, obyek formal menunjuk pada kemampuan dalam mengkritisi, mengkaji, memahami, menganalisis, mensintesis, dan mengkonstruksi setiap sistem ide atau “peta kognitif” yang tersimpan di balik segala penampakan bahan atau materi (obyek material) yang dihadapinya menjadi sistem-sistem pemikiran, pengetahuan, dan ilmu utuh dan spesifik.

Filsafat, meskipun selalu menampilkan sudut pandang yang berbeda namun dapat dikatakan hal itu bukanlah perbedaan yang bersifat fragmentatif (terpusat pada bagian-bagian tertentu yang bersifat atomis atau terpisah-pisah). Filsafat, justru selalu berupaya mencari pengertian mengenai realitas secara luas dan utuh. Sebagai konsekwesi pemikiran ini, seluruh pengalaman dalam semua instansi, etika, estetika teknik, ekonomi, sosial, budaya, religius dan lainnya, harus lah dibawa kepada filsafat dalam pengertian sebagai realitas yang utuh.

Obyek formal filsafat, dalam hal ini, menuntut bahwa seorang filsuf adalah seorang pribadi yang berkembang secara harmonis dan memiliki pengalaman secara autentik yang diperolehnya dalam dunia realita. Jadi, obyek formal (sudut pandang) filsafat itu bersifat mengasaskan, karena mengasas maka filsafat itu mengonstatir prinsip kebenaran dan ketidak benaran, logis dan non logis, baik bagi sebuah tindakan pemikiran maupun hasil pemikiran yang bersifat pengetahuan maupun keilmuan.

Obyek formal filsafat, akhirnya, hendak menegaskan bahwa meskipun terdapat berbagai macam pengetahuan atau ilmu, namun hal itu bisa bersumber dari suatu obyek material yang sama. Jadi, pengetahuan atau ilmu hanya menampilkan jenis pikiran atau pendangan yang berbeda berdasarkan sudut pendekatannya yang saling berbeda tentang pokok soal atau obyek materi yang sama, misalnya; biologi, psikologi, teologi, ekologi, linguistik, dan sebagainya, bermaksud menemukan apa yang dapat diketahuinya secara khusus berdasarkan sudut pendekatannya yang khas tentang manusia.

II. Landasan-Landasan Berpikir Filsafat.

Filsafat selalu melandasi diri pada tiga landasan pemikiran, yaitu; landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ketiga landasan pemikiran filsafat dimaksud, tidak bersifat partikular (terlepas pisah), namun saling terkait secara utuh, dalam rangka memberikan landasan-landasan yang kokoh bagi pemikiran, maupun pengembangan pemikiran itu sendiri dalam bentuk ilmu, pengetahuan, teknologi, maupun dalam bentuk lakon kehidupan yang aktual.

  1. Landasan Ontologis. Istilah ontologi diambil dari bahasa Yunani On ontos artinya ada atau keberadaan dan logi artinya pikiran atau ilmu. Jadi, Ontologi artinya ilmu tentang ada atau keberadaan itu sendiri. Maksudnya, sebuah pemikiran filsafat, selalu diandaikan berasal dari kenyataan tertentu yang bersifat ada atau yang sejauh bisa diadakan oleh kegiatan manusia. Tegasnya, bila sebuah pemikiran tidak memiliki keberadaan (landasan ontologi) atau tidak mungkin pula untuk diadakan maka pikiran itu hanya berupa hayalan, dorongan perasaan subyektif atau kesesatan berpikir yang dapat ditolak atau disangkal kebenarannya. Hakikat ada atau realitas ada itu, bagi filsafat, selalu bersifat utuh (eksistensial). Misalnya, bila secara ilmu hukum, kita berpikir tentang kebenaran atau keadilan maka dapat ditunjukkan bahwa kebenaran atau keadilan itu ada atau bisa diadakan dalam hidup manusia sehingga bisa dibuktikan atau ditolak (disangkal) kebenarannya. Konsekuensinya, bila berpikir tentang Tuhan ataujiwa maka sekurang-kurangnya, harus dapat dibuktikan atau ditunjukkan bahwa Tuhan atau jiwa itu ada, bila tidak maka pikiran itu hanya berupa sebuah ide kosong atau khayalan yang muda ditolak kebenarannya. Realitas ontologis itulah yang menjadi dasar pemikiran hukum, teologi, atau psikologi sehingga pemikiran huku, teoloigi atau psikhologi tersebut bisa dibuktikan dan dukung (di-affirmasi) atau difalsifikasikan (ditolak), atau disingkirkan (di-negasi). Realitas ada yang menjadi obyek pemikiran dan pembuktian sebuah pemikiran filsafat selalu dipahami sebagai sebuah kenyataan yang utuh, sempurna dan dinamis, baik dari sisi materi dan rohani, atas-bawah, hitam-putih, dan sebagainya. Ontologi, terbagi atas dua, yaitu; ontologi umum yang disebut metafisika, dan ontologi khusus, seperti, Kosmologi, Theodice, dan sebagainya.
     
  2. Landasan Epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani Episteme = pikiran atau pengetahuan dan logi atau logos = pengetahuan atau ilmu. Jadi, Epistemologi artinya pengetahuan tentang pengetahuan, atau filsafat pengetahuan. Maksudnya, bagi filsafat, setiap realitas apa pun, baik yang berupa realitas fisik, pikiran, ide, teks, pandangan hidup, budaya, ideologi, ajaran, keyakinan keagamaan, dan sebaginya sebagaimana pada landasan ontologis di atas, selalu memiliki struktur kenyataan yang mengandung ide, peta pemikiran (peta kognitif), struktur tata nilai dan pemahaman. Kenyataan itu, karenanya, harus digali, dikaji, diuji, dan diramu secara mendalam, sebagai sebuah sistim pemikiran atau sistem pengetahuan yang khas.

Epistemologi, karena itu, lebih dipahami sebagai aspek kritis dari filsafat yang berupaya mempertanyakan, merumuskan, menganalisis, menguji, dan menyempurnakan segala yang ada menjadi sistim pemikiran atau sistim pengetahuan tertentu. Epistemologi, dalam hal ini, berbicara tentang hakikat, sumber, jangkauan, kebenaran, cara membangun pemikiran yang sehat dan lurus, serta metode atau cara kerja di dalam memperoleh pengatahuan itu sendiri. Melalui epistemologi dapat diuji dan ditunjukkan bahwa tidak semua pemikiran itu menjadi kebenaran-kebenaran pengetahuan, dan tidak semua pengetahuan itu dapat menjadi kebenaran ilmu. Alasanya, setiap pemikiran, pengetahuan, atau ilmu, termasuk teknologi selalu memiliki dasar-dasar pertanggungjawaban epistemologis, baik menyangkut kejelasan sumber, jangkauan, metode, maupun pengandaian-pengandaiannya. Nampaknya, salah satu sisi penting dari epistemologi adalah logika yang membicarakan tentang cara mengerjakan pikiran yang benar (pikiran sehat).

  1. Landasan Aksiologi. Sebagaimana istilah Ontologi dan Epistemologi yang berasal dari bahasa Yunani, demikian pula Aksiologi yang berasal dari kata axios artinya pantas atau bernilai. Maksudnya, setiap pemikiran filsafat dengan segala turunannya, baik dalam bentuk pengetahuan atau ilmu, harus berlandas pada nilai-nilai kepantasan dan kewajaran. Alasannya, pikiran itu adalah pikiran manusia (bukan pikiran malaikat atau binatang) yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai subyek dan obyek pikiran itu sendiri. Bahkan, pikiran itu adalah pikiran seorang anak manusia yang selalu bernilai bagi dirinya.

Tegasnya, segala pemikiran filsafat harus dapat diandaikan sebagai bagian dari fenomena eksistensi manusia yang utuh, pantas, dan bernilai. Suatu pemikiran yang pantas dan bernilai, selalu berurusan dengan upaya yang sungguh untuk membebaskan manusia, mengangkat derajat manusia dan menempatkannya sebagai subyek. Justru itu, setiap pemikiran filsafat, termasuk ilmu dan pengetahuan, harus dikembalikan pada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai; dasar, sumber, norma, dan pangkalannya yang tetap. Pengetahuan atau ilmu, dalam hal ini, selalu bertautan dengan nilai, sehingga tidak ada ilmu yang bebas nilai dalam dirinya.

Pikiran, pengetahuan, atau ilmu selalu memiliki pertautan bathiniah dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diembannya. Bahkan, nilai kemausiaan itu menjadi basis dan landasarn normantif bagi pengembangan ilmu. Filsafat dengan landasan berpikir aksiologisnya ini hendak menegaskan bahwa tidak ada pikiran, pengetahuan, atau ilmu yang bebas nilai. Pikiran, pengetahuan, atau ilmu, pada dasarnya telah bersifat taut nilai, baik dari sisi asalnya (sumbernya), prosesnya, maupun hasil (penggunaan atau penerapannya).

Landasan aksiologi, karenanya, memberikan dasar yang kokoh bagi etika keilmuan, baik dalam rangka tugas pengembangan ilmu itu sendiri maupun penerapannya dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan, kemasyarakatan, dan lingkungan hidup. Baik ilmu-ilmu murni maupun ilmu terapan, tidak memiliki sebuah alasan yang memadai, dari daram dirinya sendiri, untuk mangatakan diri sebagai ilmu yang bebas nilai, sebab selalu ada saja tanggungjawab (nilai) yang diemban, baik dalam rangka proses keilmuan maupun penerapan hasil keilmuan itu sendiri.

Singkatnya, dipadangkan dari isinya, studi filsafat bertujuan memberikan dasar-dasar pengetahuan, serta pandangan yang sistematis sehingga seluruh pengetahuan kita merupakan kesatuan yang utuh. Hidup kita dipimpin oleh pengetahuan kita, sebab mengetahui kebenaran yang terdasar berarti pengetahuan dasar hidup kita sendiri yang diselami. Studi filsafat, memberikan dasar bagi ilmu pengetahuan lainnya mengenai manusia seperti; ilmu mendidik, sosiologi, hukum, ilmu jiwa, dan sebagainya.

E. Sumber:

Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan).

F. Evaluasi:

  • jelaskan pengertian obyek material filsafat bagi keilmuan;
  • jelaskan pengertian obyek formal filsafat dalam mengerjakan ilmu;
  • tunjukkan perbedaan obyek material dan obyek formal keilmuan;
  • jelaskan pengertian landasan-landasan filosofis keilmuan;
  • tunjukkan perbedaan masing-masing landasan filosofis keilmuan dalam tugas keilmuan.

Terakhir diperbaharui: Monday, 30 March 2020, 11:35