Topik5: FILSAFAT SEBAGAI IBU ILMU

FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-5
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)

POKOK BAHASAN : FILSAFAT SEBAGAI “IBU ILMU”

SUB POKOK BAHASAN :
Kedudukan Filsafat dalam Pengembangan Pikiran, Pengetahuan, dan Ilmu.

Standar Kompetensi :
Mahasiswa memahami hakikat filsafat sebagai ibu yang mengandung, melahirkan, mengasuh, dan mendewasakan ilmu.

Kompetensi dasar:
Setelah mempelajari Pokok ini, Anda diharapkan dapat:

  • menjelaskan arti filasafat sebagai "ibu ilmu”;
  • menjelaskan prinsip-prinsip filosofis yang penting dipahami dalam mengerjakan ilmu;
  • menjelaskan makna mempelajari filsafat dalam sebuah tugas pemikiran dan keilmuan;
  • menunjukkan kedudukan filsafat dalam pengembangan pikiran, pengetahuan, ilmu.

I. Filsafat Sebagai “ibu ilmu” (The Mother of Sciences).

Pemunculannya sejak abad ke-5 Sebelum Masehi, filsafat telah menunjukkan supremasinya dalam pentas pemikiran dan keilmuan dunia sebagai “ibu ilmu” (the mother of sciences). Sebagai ibu, filsafat telah menunjukkan diri sebagai kekuatan yang mengandung benih-benih pemikiran keilmuan, melahir dan menyusui bayi ilmu, dan terus membina perkembangan ilmu menjadi cabang dan ranting-ranting keilmuan, serta mendewasakan ilmu sebagai ilmu yang otonom dan mandiri.

  1. Filsafat sebagai ibu yang mengandung benih-benih pemikiran keilmuan, mengandaikan bahwa filsafat sebagai ilmu berpikir selalu mengembangkan gagasan-gagasannya, baik dalam alam kesadaran kritis (rasio) maupun dalam pengalaman nyata untuk mencermati permasalahan lingkungan, baik yang menyenangkan maupun yang mencemaskan. Pikiran-pikiran tersebut, tidak dibiarkan berkelana tanpa arah, tetapi memelihara dan membinanya di dalam kandungannya menjadi benih-benih pemikiran keilmuan. Filsafat terus membina benih-benih pemikiran itu menjadi bayi keilmuan yang matang dan siap diluncurkan (dilahirkan) dalam dunia keilmuan secara nyata.
     
  2. Sebagai ibu yang melahirkan bayi–bayi ilmu, filsafat membidani sendiri proses kelahiran bayi ilmu dari kandungannya, sehingga membentuk cabang-cabang dan ranting keilmuan baru yang bersifat khusus. Filsafat, dalam hal ini, tidak ingin mati dengan fosil-fosil pemikiran yang hanya bersifat hantu khayalan. Filsafat berusaha membedah dan melahirkan atau meluncurkannya dalam kesegaran pemikiran keilmuan yang mempengaruhi sejarah keilmuan dan menyumbang bagi tugas kebudayaan. Filsafat memiliki hubungan bathiniah dengan ilmu sebagai hubungan ibu kandung dan anak kandung yang sah dalam sebuah tanah air manusia sebagai makhluk berpikir (Homo Sapiens).
     
  3. Sebagai ibu kandung yang menyusui ilmu, filsafat memberikan gizi pemikiran dalam berbagai proses diskursus dan ujian-ujian kritis, dengan cara melakukan kritik, koreksi, dan penyempurnaan yang membangun dan menumbuhkan taraf kamatangannya sebagai ilmu-ilmu atau cabang dan ranting keilmuan yang mandiri. Filsafat, karena itu, tidak akan memperlakukan ilmu sebagai budak penguasaan filsafat, tetapi mendorong proses pertumbuhan dan perkembangan ilmu secara otonom. Filsafat berusaha membangun diskursus-diskursus keilmuan, membuka dan membentangkan penemuan-penemuannya dalam bentuk ilmu baru untuk diuji, baik dalam proses uji logis (pola penalaran), uji material (materi pemikiran), serta uji metode, guna ferifikasi dan validasi keilmuan secara kritis dan terbuka. Bahkan, filsafat berperan pula sebagai ibu menyusui, mengasuh, dan mengasah pertumbuhan serta ketajaman ilmu dalam sebuah proses komunikasi antar ilmu dan lintas ilmu. Melalui itu, ilmu atau kegiatan keilmuan dapat bertumbuh dan berkembang secara sehat, sehingga terhindar dari bahaya sesat pikir, keliru pikir, atau salah pikir.
     
  4. Sebagai ibu yang mendewasakan ilmu, filsafat tidak akan pernah mengikat atau membelenggu ilmu di dalam pagarnya. Filsafat terus mendorong kemandirian ilmu-ilmu sehingga ilmu-ilmu mampu mengembangkan pemikiran serata metode-metode yang khas dalam percaturan keilmuan secara global. Filsafat pula yang terus berperan membidani kelahiran benih-benih pemikiran, pengetahuan, dan keilmuan untuk kepentingan praktis, baik dalam bentuk teknologi, industri demi pemenuhuan kebutuhan hidup manusia, maupun upaya klinis dalam penanggulangan dampak negatif pembangunan.

Pohon Ilmu 

Gambar 4. Pohon Ilmu

II. Prinsip-Prinsip Filosofis dalam mengerjakan Ilmu (kegiatan keilmuan).

Jelas bahwa filsafat sebagai “ibu ilmu” atau induk ilmu bermaksud menunjukkan sebuah hal mendasar dalam mencari pemikiran keilmuan dan mengerjakan ilmu (keilmuan). Intinya, ilmu, termasuk ilmuwan dan lembaga keilmuan, segala prestasi kemajuannya harus dilihat dalam kelebihan dan kekuarangan manusia sebagai Homo Sapiens. Bagi filsafat, manusia itu selalu tahu diketidaktahuan-nya, Konsekuensinya, semakin banyak yang makin diketahui, baik melalui kegiatan keilmuan maupun seni budaya, namun, semakin banyak pula misteri ketidaktahuan yang seakan terus mendangkalkan pengetahuan, kekaguman, dan terus menantang rasa “ingin tahu” manusia. Bahkan, semakin banyak penemuan dalam rangka pemecahan masalah-masalah kehidupan, namun makin banyak pula “kecemasan mekar” yang terus mengerogoti manusia. Dewasa ini, fenomena “ketidaktahuan filosofis” ini, telah berkembang luas dan makin mengancam eksistensi manusia secara utuh.

Sesungguhnya, akar semua persoalan di atas, terletak pada kecenderungan pengembangan pikiran atau pengetahuan yang tidak utuh (tidak akumulatif). Pemikiran, ilmuwan, dan profesional, telah memisahkan antara kebenaran-kebenaran logis dari kebenaran-kebenaran etis (nilai) dan moral. Filsuf kritis menjelaskan bahwa banyak pemikir, dengan dalih sebagai “majikan kebenaran”, berusaha membangun berbagai bentuk “sesat pikir” untuk menciptakan kebingungan, pembodohan, kebodohan atau ketidaktahuan, serta melalukan berbagai kepalsuan, kebohongan, pembusukan kebenaran, dan penghancuran peradaban manusia.

Socrates, bapak filsuf itu, mengatakan di dalam sebuah nasihatnya bahwa; Kenali lah dirimu sendiri (Gnoti Seauton). Menurut Socrates, hanya manusia yang mengenal dirinya sendirilah yang kuat dan berguna, karena mereka akan mengenal kekuatan dan kelemahannya sendiri, dan tidak akan membiarkan diri ditipu atau dikuasai oleh kejahatan, baik akibat kebodohan atau karena “kepintaran” yang menyesatkan itu. Socrates, karena itu, menegaskan bahwa: hanya manusia itu sendiri lah yang tahu bahwa ia tidak tahu. Bagi Socrates, pikiran hendaknya makin membuat orang untuk mengenal dirinya sendiri sehingga tahu menegur dan menasihati diri sendiri, bukan sebaliknya membuat orang menjadi lupa diri. Konsekuensinya, semakin semakin tinggi dan luas pikiran serta pengetahuan seorang manusia, semakin tinggi pula penguasaan diri dan kesadaran diri “rendah hati” dalam ketekunan mengemban tugas kemanusiaannya sebagai makluk beradab. Pikiran harus dikembalikan pada kesegaran eksistensi manusia. Tegasnya, pikiran atau pengetahuan harus selalu ditempatkan dalam keutuhanya sebagai salah satu fenomena manusia untuk memanusiakan manusia. Pikiran bukanlah ego mandiri yang berada pada dirinya sendiri dan melayani kepentingan pikiran itu sendiri. Pikiran tidak dapat berpikir dari dalam dirinya sendiri, tetapi manusialah yang berpikir dengan pikirannya itu sendiri dalam keutuhan konteks kemanusiaannya.

Menurut Socrates, manusia, dengan pikiran atau pengetahuannya, seolah melangkah maju dari upaya menyingkap misteri satu menuju misteri-misteri lain, yang kian mekar, di dalam hidupnya. Manusia, dengan pikiran atau pengetahuannya, seola bergerak dari satu ketidaktahuan menuju ketidaktahuan baru dalam hidupnya. Kenyataan itulah yang membuat ilmu pengetahuan makin terus berkembang dalam tatanan filosofis, agar mampu memburu dan membunuh naga-naga ketidaktahuan dan kejahatan baru (kejahatan profesional) yang bertumbuh berbarengan dengan perkembangan pikiran, pengetahuan, dan keilmuan manusia.

Gonti Seauton, dalam hal ini, menunjukkan sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat fundamental dalam hal memahami dan mengerjakan pikiran, yang merupakan salah satu ciri keberadaan yang khas manusia itu. Intinya pada analisis diri dan pemahaman diri untuk mencapai pengetahuan dan tingkah laku yang lebih baik. Manusia, melalui pengetahuannya itu, memperoleh kekuatan, tanggungjawab, kesadaran bathin, kematangan pemikiran atau intelektual, dan rasa percaya diri untuk membangun dirinya sebagai mahkluk beradab yang makin matang (dewasa), tahu diri, dan berendah hati.

Manusia, di samping membutuhkan kerendahan hati, juga membutuhkan kesabaran, ketekunan, kesabaran, dan keteguhan bathin untuk menegur dan mendidik diri. Ia butuh kedisiplinan, tanggung jawab, dan optimisme hidup di dalam mengejar pengetahuan atau kearifan dimaksud. Filsafat, karena itu, hendak menunjukkan bahwa manusia bukan hanya bertugas mengisi “ingin tahu”-nya dengan pikiran dan ketrampilan-ketrampilan teknologis (praktis operasional) yang sempit atau terbatas. Justru sebaliknya, filsafat ingin melampauinya dan menempatkan perjuangan manusia yang berpengetahuan itu pada inti pergumulan dan tugas memanusiakan manusia sebagai makhluk beradab dan berbudaya di dalam keutuhan eksistensinya. Manusia, secara eksistensial bersifat “multi dimensi”, dan karenanya, pengembangan pikiran dan pengetahaunnya pun, hendaknya merupakan sebuah tugas eksistensial yang utuh dalam kepelbagaian dimensinya itu.

Justru itu, kategori kepintaran atau pengetahuan yang dipetaruhkan dalam perspektif tugas kemanusiaan itu bukan lah sekedar kemampuan rasionalisasi (rekayasa) untuk mencari “pembenaran-pembenaran” yang bersifat instrumental-teknomogis semata guna mewujudkan kepentingan-kepentingan yang sempit dan sesaat. Alasanya, manusia dengan pikiran dan pengetahuannya, membutuhkan kreatifitas budi dalam menyiasati dinamika kepelbagainanya secara utuh. Baginya, kepentingan teknis di dalam pengetahuan atau kepintaran manusia itu penting, misalnya kegiatan-kegiatan rekayasa dan manipulatif (teckno engginering) untuk membangun kehidupan manusia secara nyata. Meskipun demikian, kepintaran pengetahuan itu bila hanya diorientasikan untuk sekedar mengejar keuntungan atau kenikmatan semata maka hal sebaliknya akan menyeret manusia ke dalam kebodohan dan tindakan-tindakan tak beradab.

Kecenderungan demikian, justru, tidak akan memanusiakan manusia dengan pikiran atau pengetahuan sehingga manusia akan semakin pintar berbuat baik dan benar, tetapi sebaliknya, menyeret, membelenggui, dan menindas manusia di dalam arus kejahatan yang pada dirinya menghancurkan tata nilai, cita rasa kemanusiaan, maupun citra peradaban itu sendiri. Akibatnya, orang berilmu dan pintar sekalipun akan menjadi semakin egois, angkuh. Bahkan mungkin, semakin pintar (profesional) dalam berbuat kejahatan dan merasa serba-bisa di dalam perbudakan hawa nafsu. Konsekuensinya, meskipun terjadi banyak peningkatan Sumber daya Manusia (SDM), sebagaimana yang dilakukan di Indonesia, namun, semakin bertumbuh mekar kejahatan dan semakin tidak teratasi masalah-masalah hidup yang dihadapi, baik di dalam konteks hidup bernegara maupun bermasyarakat. Semuanya ini diakibatkan oleh adanya kecenderungan untuk menghilangkan daya kritis dan sifat kontemplatif dari pikiran atau pengetahuan itu sendiri, yang dianggap menghambat keinginan atau nafsu-nafsu kemanusiaan yang ingin memperalat pikiran dan pengetahuan untuk hanya mengejar kenikmatan atau keuntungan sesaat itu sendiri.

Filsafat ingin menunjukkan adanya dimensi kritis untuk semakin terbuka dan berendah diri dalam menguji serta memurnihkan pikiran atau pengetahuan itu sendiri dari goan-godaan kejahatan sehingga manusia akan semakin memiliki ketajaman bathin (berpikir dengan hati) dalam hal mengembangkan pikiran atau pengetahuannya untuk membentuk diri atau kepribadian secara utuh. Melalui itu, orang akan terbuka pada teguran nurani, koreksi, kritikan, dan tuntutan-tuntutan perbaikan sehingga orang mampu membangun ketegori pikiran dan pengetahuannya di dalam tatanan nilai yang menjadi inti pergumulan kemanusiaan itu sendiri.

Intinya, filsafat hendak menunjukkan bahwa pikiran atau pengetahuan itu selalu punya empat dimensi yang salig bertautan, yaitu: pertama, dimensi aktif untuk terus mengembangkan pengetahuan dan keingintahuan manusia dalam sebuah konstelasi peradaban yang luas dan luhur guna membangun kehidupan secara nyata; kedua; dimensi kreatif, dengan tujuan untuk mengolah budi (kecerdasan), mampu melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual; ketiga, dimensi kritis, untuk membangun kesadaran diri, otonomi diri, serta kemampuan nalar dalam menilai dan mempertanyakan berbagai kemungkinan (klaim-klaim kebenaran bersifat keilmiahan, ideologis, yuridis, maupun religius) dalam rangka pengembangan dan penegasan eksistensi (pilihan hidup); keempat, dimensi kontemplatif untuk mengontrol dan mengendalikan pikiran atau pengetahuan itu sendiri sehingga tidak terjebak dalam permainan arus keinginan dan kejahatan.

III. Makna Mempelajari Filsafat

Sesuai pembahasan di atas, disimpulkan bahwa tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah:

  1. membuat manusia akan lebih menjadi manusia. Maksudnya, dengan belajar filsafat maka manusia akan makin setia mendidik dan membangun dirinya atas dasar kesadaran maupun tanggung jawab kemanusiaannya untuk menemukan jati dirinya yang khas. Manusia, melalui itu dituntun untuk mengatasi permasalahan-permasalahan hidupnya dalam sebuah proses penemuan yang luas-mendalam, tepat, arif, dan bijaksana. Tugas mengatasi permasalahan hidup manusia itu adalah utuh, karena mencakup aspek-aspek jasmani dan rohani. Maksudnya, sifat yang khusus bagi seorang filsuf ialah bahwa ia sadar akan apa saja yang termasuk dalam kehidupan manusia, tetapi juga bagaimana mengatasi dunia itu sendiri. Filsuf, dalam hal ini, harus sanggup melepaskan diri atau menjaukan diri sebentar dari keramaian hidup serta kepentingan subyektif untuk menjadikan hidupnya sendiri sebagai obyek penyelidikannya, termasuk kepentingan dan keinginan subyektifnya. Melalui cara demikian, filsuf mencapai keobyektifan dan kebebasan hati sehingga dimungkinkan penilaian yang obyektif dan benar tentang manusia dan dunia dengan segala sifatnya itu. Bagi filsafat, sifat keobyektifan adalah ciri seorang dewasa yang matang kerohaniannya. Konsekuensinya, seorang filsuf akan semakin memiliki kebijaksanaan bila ia semakin mempunyai sikap obyektif terhadap dunia ini.
  2. melatih orang untuk memandang dengan luas. Jadi, dengan belajar filsafat maka orang disembuhkan dari “kecenderungan kepicikan” yaitu dari “Akuisme” dan “Akusentrisme” yang membelenggu sehingga orang tidak dapat berpikir sehat luas, dan obyektif. “Akuisme” atau “Akusentrisme”, di samping merupakan sebuah belenggu, juga merupakan sebuah musuh peradaban, karena hanya menempatkan manusia sebatas obyek bagi dirinya sendiri. Filsafat, dalam hal ini, mengajarkan orang, bukan untuk menghancurkan ke-aku-annya, tetapi menumbuhkan dan mengembangkannya secara kritis dengan berbagai referensi diri yang lain di luar dirinya sendiri.
     
  3. membimbing orang untuk dapat berpikir sendiri sehingga orang akan memiliki kemandirian dan kreativitas intelektual (pemikiran) di dalam menghadapi dan menyiasati realitasnya. Orang dilatih dan dididik untuk harus berpikir secara mandiri, terutama dalam lapangan kerohanian. Orang dibimbing untuk harus mempunyai pendapat sendiri jika perlu dapat dipertahankannya untuk terus menyempurnakan cara berpikirnya, sehingga makin mencapai kematangan dan kedewasaan. Prinsip itu perlu terus dikembangkan hingga orang dapat bersikap kritis dalam mencari kebenaran dalam apa yang dikatakan orang, baik dalam buku – buku pengetahuan maupun dalam surat– surat kabar, majalah, pidato, dan sebagainya.

IV. Filsafat dan Ilmu Lain

Pemahaman tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri akan menjadi lebih jelas bila dilihat dalam posisi perbandingan dengan ilmu lain. Filsafat, dalam hal ini, lebih merupakan sebuah pemikiran yang universal, menyeluruh, dan mendasar, sementara ilmu lainnya lebih merupakan pemikiran yang lebih spesifik atau khusus, karena dibatasi pada obyek dan sudut pandang pemikirannya yang khas. Obyek penelitian filsafat mencakup segala sesuatu, sejauh bisa dijangkau oleh pikiran manusia. Filsafat berusaha menyimak dan menyingkap seluruh kenyataan dan menyelidiki sebab-sebab dasariah dari segala sesuatu. Filsafat, karenanya, ingin mengkritisi dan menembusi berbagai sekat pemikiran ilmu-ilmu lainnya, serta berusaha mencapai sebab terahkir dan mutlak (absolut) dari segala yang ada.

Titik berangkat filsafat yang pertama adalah kegiatan manusia, dalam hal ini, secara khusus, kegiatan pengetahuan dan kehendak manusia yang merupakan kegiatan pertama yang secara langsung dialami oleh manusia. Manusia, di dalam kegiatannya yang pertama dimaksud, menjadi sadar akan eksistensinya sendiri dan eksistensi orang atau hal lainnya. Filsafat, karena itu, berusaha mendalami, menyingkap, dan menjelaskan kesadaran eksistensi diri manusia dan sesama yang lain, secara luas dan mendalam sampai ke akar-akar realitasnya yang fundamental. Proses penelitian filsafat itu melai dari bentuk-bentuk pengatahuan biasa yang dimiliki individu dalam kehidupan sehari-harinya, warisan budaya masa lalu, dan juga hasil penelitian dan pemikiran ilmu-ilmu lainnya yang bersifat khusus. Jenis-jenis pengatahuan khusus tersebut, sungguh membantu filsafat, tetapi juga membatu bentuk-bentuk pengetahuan khusus dan ilmu lain tersebut untuk makin memantapkan dan menyempurnakan prinsip-prinsip dasarnya.

Filsafat berusaha menerangi dunia dengan rasio manusia, dan karennya, filsafat lebih merupakan “kebijaksanaan duniawi”, bukan “kebijaksanaan ilahi” yang sempurna dan mutlak abadi. Filsafat, karena itu, berbeda dengan ilmu teologi. Teologi berusaha melihat Allah dan kegiatannya di dalam dunia berdasarkan wahyu adikodrati.

Biarpun filsafat merupakan kegiatan dan produk rasio, ia tetap bukan ciptaan rasio semata. Alasannya, karena rasio itu sendiri merupakan bagian integral dari keutuhan eksistensi manusia yang terkait dengan aspek-aspek lainnya dari tatanan eksistensi manusia itu sendiri yang bersifat “mono pluralis” (satu di dalam banyak dan banyak di dalam satu). Filsafat tidak hanya berupaya memuaskan pencaharian manusia akan kebenaran, melainkan ia juga berusaha menerangi dan menuntun arah atau orientasi kehidupan manusia secara kritis dan jelas, bukan dengan spekulasi-spekulasi yang absurd, hambar, dan penuh hayalan yang sia-sia.

Filsafat tidak pernah akan menerima secara buta berbagai pemikiran, keyakinan, egoisme keilmuan, atau pandangan-pandangan kepribadian yang bersifat individual semata. Justru, filsafat berusaha menguji, mengkritisi, dan berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara baru dan menjawabnya secara baru pula, berdasarkan aktualitas dan tuntutan dinamika perkembangan yang dihadapi. Filsafat, karena itu, tidak akan pernah menjadikan dirinya sebagai kebenaran ideologis yang serba-sempurna dan serba-oke, yang membelenggui manusia. Justru, filsafat tetap adalah sebuah program pencerahan dalam rangka otonomi, emansipasi, dan perkembangan manusia.

Dewasa ini, tanggungjawab filsafat semakin diakui, baik sebagai pangkalan pengembangan keilmuan maupun sebagai titik pangkal pengintegrasian ilmu-ilmu dalam sebuah pendekatan yang bersifat multi dan interdisipliner. Melalui itu, ilmu-ilmu dan spesialisasi tidak tertutup dalam kapsul egoisme keilmuan atau spesialisasinya masing masing, tetapi terbuka untuk saling menyapa dan membangun tugas bersama demi manusia dan kemanusiaan yang menjadi sumber dan norma, serta causa ontologis (penyebab ada) bagi ilmu-ilmu itu sendiri.

E. Sumber:

Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan).

F. Evaluasi:

  • jelaskan arti filasafat sebagai “ibu ilmu”;
  • tunjukkan prinsip-prinsip filosofis yang penting dalam keilmuant;
  • jelaskan makna mempelajari filsafat dalam sebuah tugas keilmuan;
  • tunjukkan kedudukan filsafat dalam pengembangan pikiran, pengetahuan, ilmu.

Terakhir diperbaharui: Monday, 30 March 2020, 11:34